1. Take nothing, but pictures [jangan ambil sesuatu kecuali gambar]
2. Kill nothing, but times [jangan bunuh sesuatu kecuali waktu]
3. Leave nothing, but foot-print [jangan tinggalkan sesuatu kecuali jejak kaki]
dan senantiasa ;
1. Percaya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
2. Percaya kepada kawan [dalam hal ini
kawan adalah rekan penggiat dan peralatan serta perlengkapan, tentu
saja juga harus dibarengi bahwa diri kita sendiri juga dapat dipercaya
oleh “teman” tersebut dengan menjaga, memelihara dan melindunginya
3. Percaya kepada diri sendiri, yaitu percaya bahwa kita mampu melakukan segala sesuatunya dengan baik.Sejarah Pencinta Alam Serta Perkembangannya
Apabila sejenak kita merunut dari
belakang, sebetulnya sejarah manusia tidak jauh-jauh amat dari alam.
Sejak zaman prasejarah dimana manusia berburu dan mengumpulkan makanan,
alam adalah "rumah" mereka. Gunung adalah sandaran kepala, padang
rumput adalah tempat mereka membaringkan tubuh, dan gua-gua adalah
tempat mereka bersembunyi. Namun sejak manusia menemukan kebudayaan,
yang katanya lebih "bermartabat", alam seakan menjadi barang aneh.
Manusia mendirikan rumah untuk tempatnya bersembunyi. Manusia
menciptakan kasur untuk tempatnya membaringkan tubuh, dan manusia
mendirikan gedung bertingkat untuk mengangkat kepalanya.
Selengkapnya >>>
Selengkapnya >>>
Manusia
dan alam akhirnya memiliki sejarahnya sendiri-sendiri. Ketika keduanya
bersatu kembali, maka ketika itulah saatnya Sejarah Pecinta Alam
dimulai :
Pada tahun 1492
sekelompok orang Perancis di bawah pimpinan Anthoine de Ville mencoba
memanjat tebing Mont Aiguille (2097 m), dikawasan Vercors Massif. Saat
itu belum jelas apakah mereka ini tergolong pendaki gunung pertama.
Namun beberapa dekade kemudian, orang-orang yang naik turun
tebing-tebing batu di Pegunungan Alpen adalah para pemburu chamois,
sejenis kambing gunung. Barangkali mereka itu pemburu yang mendaki
gunung. Tapi inilah pendakian gunung yang tertua pernah dicatat dalam
sejarah.
Di Indonesia, sejarah
pendakian gunung dimulai sejak tahun 1623 saat Yan Carstensz menemukan
"Pegunungan sangat tinggi di beberapa tempat tertutup salju" di Papua.
Nama orang Eropa ini kemudian digunakan untuk salah satu gunung di
gugusan Pegunungan Jaya Wijaya yakni Puncak Cartensz. Pada tahun 1786
puncak gunung tertinggi pertama yang dicapai manusia adalah puncak Mont
Blanc (4807 m) di Prancis. Lalu pada tahun 1852 Puncak Everest setinggi
8840 meter ditemukan. Orang Nepal menyebutnya Sagarmatha, atau
Chomolungma menurut orang Tibet. Puncak Everest berhasil dicapai manusia
pada tahun 1953 melalui kerjasama Sir Edmund Hillary dari Selandia Baru
dan Sherpa Tenzing Norgay yang tergabung dalam suatu ekspedisi Inggris.
Sejak saat itu, pendakian ke atap-atap dunia pun semakin ramai.
Di
Indonesia sejarah pecinta alam dimulai dari sebuah perkumpulan yaitu
"Perkumpulan Pentjinta Alam"(PPA). Berdiri 18 Oktober 1953. PPA
merupakan perkumpulan Hobby yang diartikan sebagai suatu kegemaran
positif serta suci, terlepas dari 'sifat maniak'yang semata-mata
melepaskan nafsunya dalam corak negatif. Tujuan mereka adalah memperluas
serta mempertinggi rasa cinta terhadap alam seisinya dalam kalangan
anggotanya dan masyarakat umumnya. Sayang perkumpulan ini tak berumur
panjang. Penyebabnya antara lain faktor pergolakan politik dan suasana
yang belum terlalu mendukung sehingga akhirnya PPA bubar di akhir tahun
1960. Awibowo adalah pendiri satu perkumpulan pencinta alam pertama di
tanah air mengusulkan istilah pencinta alam karena cinta lebih dalam
maknanya daripada gemar/suka yang mengandung makna eksploitasi belaka,
tapi cinta mengandung makna mengabdi. "Bukankah kita dituntut untuk
mengabdi kepada negeri ini?."
Sejarah
pencinta alam kampus pada era tahun 1960-an. Pada saat itu kegiatan
politik praktis mahasiswa dibatasi dengan keluarnya SK 028/3/1978
tentang pembekuan total kegiatan Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa
yang melahirkan konsep Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Gagasan ini
mula – mula dikemukakan Soe Hok Gie pada suatu sore, 8 Nopember 1964,
ketika mahasiswa FSUI sedang beristirahat setelah mengadakan kerjabakti
di TMP Kalibata. Sebenarnya gagasan ini, seperti yang dikemukakan Soe
Hok Gie sendiri, diilhami oleh organisasi pencinta alam yang didirikan
oleh beberapa orang mahasiswa FSUI pada tanggal 19 Agustus 1964 di
Puncak gunung Pangrango. Organisasi yang bernama Ikatan Pencinta Alam
Mandalawangi itu keanggotaannya tidak terbatas di kalangan mahasiswa
saja.
Semua yang berminat dapat
menjadi anggota setelah melalui seleksi yang ketat. Sayangnya organisasi
ini mati pada usianya yang kedua. Pada pertemuan kedua yang diadakan di
Unit III bawah gedung FSUI Rawamangun, didepan ruang perpustakaan.
Hadir pada saat itu Herman O. Lantang yang pada saat itu menjabat
sebagai Ketua Senat Mahasiswa FSUI. Pada saat itu dicetuskan nama
organisasi yang akan lahir itu IMPALA, singkatan dari Ikatan Mahasiswa
Pencinta Alam. Setelah bertukar pikiran dengan Pembantu Dekan III bidang
Mahalum, yaitu Drs. Bambang Soemadio dan Drs. Moendardjito yang
ternyata menaruh minat terhadap organisasi tersebut dan menyarankan agar
mengubah nama IMPALA menjadi MAPALA PRAJNAPARAMITA. Alasannya nama
IMPALA terlalu borjuis. Nama ini diberikan oleh Bpk Moendardjito. MAPALA
merupakan singkatan dari Mahasiswa Pencinta Alam. Dan Prajnaparamita
berarti dewi pengetahuan. Selain itu MAPALA juga berarti berbuah atau
berhasil. Jadi dengan menggunakan nama ini diharapkan segala sesuatu
yang dilaksanakan oleh anggotanya akan selalu berhasil berkat lindungan
dewi pengetahuan. Ide pencetusan pada saat itu memang didasari dari
faktor politis selain dari hobi individual pengikutnya, dimaksudkan juga
untuk mewadahi para mahasiswa yang sudah muak dengan organisasi
mahasiswa lain yang sangat berbau politik dan perkembangannya mempunyai
iklim yang tidak sedap dalam hubungannya antar organisasi.
Dalam
tulisannya di Bara Eka 13 Maret 1966, Soe mengatakan bahwa : “Tujuan
MAPALA ini adalah mencoba untuk membangunkan kembali idealisme di
kalangan mahasiswa untuk secara jujur dan benar-benar mencintai alam,
tanah air, rakyat dan almamaternya. Mereka adalah sekelompok mahasiswa
yang tidak percaya bahwa patriotisme dapat ditanamkan hanya melalui
slogan-slogan dan jendela-jendela mobil. Mereka percaya bahwa dengan
mengenal rakyat dan tanah air Indonesia secara menyeluruh, barulah
seseorang dapat menjadi patriot-patriot yang baik” Para mahasiswa itu,
diawali dengan berdirinya MAPALA Universitas Indonesia, membuang energi
mudanya dengan merambah alam mulai dari lautan sampai ke puncak gunung.
MAPALA atau Mahasiswa Pecinta Alam adalah organisasi yang beranggotakan
para mahasiswa yang mempunyai kesamaan minat, kepedulian dan kecintaan
dengan alam sekitar dan lingkungan hidup. Sejak itulah pecinta alam pun
merambah tak hanya kampus (Kini, hampir seluruh perguruan tinggi di
Indonesia memiliki MAPALA baik di tingkat universitas maupun fakultas
hingga jurusan), melainkan ke sekolah-sekolah, ke bilik-bilik rumah
ibadah, sudut-sudut perkantoran, lorong-lorong atau kampung-kampung.
Seakan-akan semua yang pernah menjejakkan kaki di puncak gunung sudah
merasa sebagai pecinta alam.
PALA ( PECINTA ALAM ),
Konsekuensi yang harus dihadapi dari sebuah konsistensi
Konsekuensi yang harus dihadapi dari sebuah konsistensi
Apa
yang diharapkan dengan mengikuti sebuah organisasi bernama PALA (
Pecinta Alam )? Banyak memandang sebelah mata pada organisasi ini dan
terkadang mengatakan bahwa kegiatannya hanya bersifat hura-hura yang
menghabiskan uang. Suara itu semakin santer terdengar bila ada
pemberitaan mengenai kecelakaan yang dialami oleh anggota PALA ( Pecinta
Alam ) pada waktu melakukan kegiatan di alam. Dalam sebuah diskusi
(mengutip dalam artikel Kompas, Minggu 29 Maret 1992) kegiatan PALA (
Pecinta Alam ) dapat dikategorikan sebagai olahraga yang masuk ke dalam
kaliber sport beresiko tinggi. Kegiatannya meliputi mendatangi puncak
gunung tinggi, turun ke lubang gua di dalam bumi, hanyut berperahu di
kederasan jeram sungai deras,
keluar
masuk daerah pedalaman yang paling dalam dan lainnya. umumnya kegiatan
PALA ( Pecinta Alam ) berkisar di alam terbuka dan menyangkut lingkungan
hidup. Jenis aktifitas meliputi pendakian gunung (mountaineering),
pemanjatan (climbing), penelusuran gua (caving), pengarungan arus
liar(rafting), penghijauan dan lain sebagainya. Tak ayal lagi bahwa
kegiatan ini beresiko tinggi dan setiap anggotanya harus memahami
konsekuensi resiko yang dihadapi dengan bergabung dengan organisasi ini.
Resiko yang paling berat adalah cacat fisik permanen dan bahkan
kematian. Untuk bisa mempersiapkan diri menghadapi resiko yang tinggi
ini, dibutuhkan kesiapan mental, fisik dan skill yang memadai. Berbagai
macam latihan dan pengalaman terjun langsung ke alam dapat meminimalisir
resiko yang akan dihadapi. Tapi, diluar semua itu masih ada yang lebih
berwenang untuk menentukan hidup dan mati seseorang.
PALA,
Pencinta alam atau Petualang ?
Pencinta alam atau Petualang ?
Dua
nama, pencinta alam dan petualang seolah-olah merupakan satu kesatuan
utuh yang tidak bisa di pisahkan antara keduanya. Namun kalau dilihat
secara etimologi kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia akan nampak
kelihatan bahwa keduanya tidak ada hubungan satu sama lainnya. Dalam
KBBI, pecinta (alam) ialah orang yang sangat suka akan (alam), sedangkan
petualang ialah orang yang suka mencari pengalaman yang sulit-sulit,
berbahaya, mengandung resiko tinggi dsb. Dengan demikian, secara
etimologi jelas disiratkan dimana keduanya memiliki arah dan tujuan yang
berbeda, meskipun ruang gerak aktivitas yang dipergunakan keduanya
sama, alam. Dilain pihak, perbedaan itu tidak sebatas lingkup “istilah”
saja, tetapi juga langkah yang dijalankan. Seorang pencinta alam lebih
populer dengan gerakan enviromentalisme-nya, sementara itu, petualang
lebih aktivitasnya lebih lekat dengan aktivitas-aktivitas Adventure-nya
seperti pendakian gunung, pemanjatan tebing, pengarungan sungai dan
masih banyak lagi kegiatan yang menjadikan alam sebagai medianya.
Kini yang sering ditanyakan
Ketika
kerusakan alam di negeri ini semakin parah dimanakah pencinta alam?
begitupun dengan para petualang yang menggunakan alam sebagai medianya.
Bahkan Tak jarang aktivitas “mereka” berakhir dengan terjadinya tindakan
yang justru sangat menyimpang dari makna sebagai pecinta alam, misalkan
terjadinya praktek-paktek vandalisme. Inilah sebenarnya yang harus di
kembalikan tujuan dan arahnya sehingga jelas fungsi dan gerak merekapun
bukan hanya sebagai ajang hura-hura belaka. keberadaaan mereka belum
mencirikan kejelasan arah gerak dan pola pengembangan kelompoknya.
Jangankan mencitrakan kelompoknya sebagai pecinta alam, sebagai
petualang pun tidak. Aktivitas mereka cenderung merupakan aksi-aksi
spontanitas yang terdorong atau bahkan terseret oleh medan ego yang
tinggi dan sekian image yang telah terlebih dulu dicitrakan, dengan
demikian banyak diantara para “pencinta alam” itu cuma sebatas “gaya”
yang menggunakan alam sebagai alat.